

Liputan dan Komentar
DARI STUDIUM GENERAL KSAF FIAI – UMS MENGOREKSI PENDAPAT ORIENTALIS TENTANG ISLAM DI INDONESIA
Kata “Orientalis” muncul sejak orang-orang Barat menemukan dunia Timur. (Afrika, Timur Tengah dan Asia) termasuk Indonesia. Kata “Orientalis” berasal dari “Orientalist” bahasa Belanda atau Inggris, artinya orang yang berkecimpung dalam studi mengenai kebudayaan timur. Kata “Orient” dalam bahasa-bahasa Barat berarti timur, sebagai lawan dari kata “Occident” yang artinya barat. Untuk selanjutnya Barat dipandang sebagai subjek dan Timur sebagai objek, karena bangsa Timur kebanyakan merupakan daerah jajahan bangsa Barat, seperti Indonesia, India, Afrika, dan sebagainya, maka selayaknya bangsa Timur menjadi bahan kajian orang Barat, terutama mengenai kebudayaannya. Hal ini diungkapkan Prof. Dra. Siti Baroroh Baried ahli filologi saat Stadium General Kelompok Studi Agama dan Filsafat (KSAF) di gedung Puslitbang UMS, 1 Desember lalu.
Selanjutnya dosen Pasca Sarjana UGM dan IAIN Jogyakarta ini menambahkan, munculnya kegiatan mempelajari kebudayaan Timur telah lama sesuai dengan keberhasilan bangsa Barat menemukan dunia Timur, sejak bangsa Timur menjadi sasaran pelayaran dan tujuan perdagangan, maka tujuan kegiatan orientalis ini dapat berupa kepentingan perdagangan, kepentingan penjajahan, kepentingan penyebaran agama Nasrani dan untuk kepentingan hubungan diplomasi.
Sebagian besar orientalis yang mem pelajari Islam di Indonesia adalah ahli teologi dan filologi, yakni melihat data dari naskah-naskah kuno sebagai sejarah kajian mereka tentang Indonesia. Maka dari naskah-naskah kuno itu (baik yang berbahasa Melayu maupun Arab) mereka menemukan fakta bahwa Islam sudah sangat kental dalam budaya Indonesia sebelum mereka datang. Snuck Hurgronje yang dikenal sebagai ahli Islam Indonesia dengan kacamata orientalis juga menggunakan metode filologi ini, yang juga ahli teologi dari Fakultas Teologi di Leiden. Jadi keberhasilan mereka bukan karena menguasai sosiologi, bukan terjun ke masyarakat, tetapi mempelajari budaya bangsa Timur seperti yang direkam bangsa Timur sendiri.
Metode lain yang digunakan para orientalis, adalah metode perbandingan Islam. Sebagai contoh yang dilakukan oleh Prof. Drewes, untuk mempelajari tasawuf di Indonesia. Dia mempelajari dulu Islam pada umumnya, mempelajari Ibnu Arobi, Al-Ghozali baru pengetahuan yang banyak itu digunakan untuk mempelajari Islam di Indonesia.
Fase penelitian orientalis setidaknya dapat digolongkan menjadi tiga, Pertama; awal perkenalan orang-orang Barat dengan dunia Timur sampai puncaknya perang salib, dimana pada fase ini hubungan masih bersifat damai antara Barat dan Timur. Kedua, puncak perang salib sampai abad ke 18 hubungan keduanya sudah bersifat permusuhan. Tulisan-tulisan mereka didominasi oleh pandangan-pandangan Barat yang berat sebelah, yang hanya menunjukkan kejelekan ummat Islam dan dunia Timur. Ketiga, setelah abad ke 18 dimana Timur menjadi objek kajian yang lepas dari sifat subjektif. Perkembangan ini semakin jelas dalam abad ke 20 ini. Tulisan-tulisan Barat telah mulai menunjuk kan bahwa Islam adalah satu sistem agama yang mampu mengubah dunia menjadi lebih baik dari sebelum kedatang annya. Tulisan Arnold, Pijper, Drewes, Peacock, Geertz mewakili pandangan para orientalis yang cenderung mengadakan studi mengenai Islam secara ilmiah.
Namun demikian, penelitian ilmiah hasilnya tidak selalu benar. Kita melihat, betapa banyak orang-orang Indonesia dahulu yang menulis tentang tasawuf begitu hebatnya, baik berbahasa Melayu mau berbahasa Arab. Tulisan-tulisan itu menarik perhatian para orientalis hingga sudah banyak yang dikaji, dipelajari sampai muncul menjadi teori. Teori orientalis yang kenal tentang tasawuf adalah bahwa sawuf yang masuk ke Indonesia sudah tidak murni lagi karena dipengaruhi pandangan-pandangan yang heterodoks yang menyimpang dari aslinya. Hal ini dikuatkan dengan bukti bahwa, waktu telektual bangsa Indonesia sebelum datangnya Islam dipengaruhi oleh Mahayana dan Syiwaisme. Teori ini akhirnya disanggah oleh disertasi Dr. Simuh dari IAIN Jogyakarta, dimana Simuh menggunakan naskah-naskah yang todoks.
Pandangan orientalis terhadap Hamzah Fansuri yang muncul di Aceh abad ke 16 yang banyak menulis tasawuf juga perlu dikaji kembali. Orientalis dalam hal ini diwakili Prof. Drewes memanda Hamzah Fansuri menulis ajaran tasak yang sesat karena menyamakan alam semesta dengan Tuhan. Seakan-akan teori ini sudah baku karena diikuti oleh banyak ahli dan banyak peneliti. Akan tetapi tahun 1970 muncul disertasi Prof. Najib Al-Atas dari University of Malaya Kuala Lumpur, yang menyanggah teori tersebut. Pro John dari Canbera juga menentang 80 ini pada sebuah majalah Belanda baru-baru ini, ditambah satu lagi seorang dari Malaysia yang disertasinya 10 membenarkan pandangan orientalis ini.
Biarkan orientalis memandang Islam Indonesia, kita jangan phobi dengan tulisan-tulisan itu. Yang penting bagi kita adalah menerima pandangan-pandandangan itu dengan sikap terbuka dan kritis, hingga mampu meluruskan sesuatu belum lurus. Untuk menolak orientalis harus mempelajari orientalis, dan seandainya akan menerima orientalis kita harus mempelajarinya.
(M.A.Z. Sudarman/Jw).
“Menerima pandangan-pandandangan itu dengan sikap terbuka dan kritis, hingga mampu meluruskan sesuatu belum lurus“.
M.A.Z. Sudarman/Jw