

(lanjutan pada halaman 12)
kolonial Belanda menguasai Indonesia. Sejarah telah mencatat, cukup banyak pejuang-pejuang dari umat Islam di abad tersebut yang melakukan perlawanan-perlawanan terhadap kolonial Belanda demi membebaskan negerinya dari jajahan tangan asing. Bahkan pesantren-pesantren pun telah menjadi pusat-pusat perlawanan petani terhadap kolonial Belanda. Pemberontakan petani Banten 1888 misalnya merupakan suatu bukti historis di mana pesantren telah menjadi pusat perjuangan melawan Belanda, ditambah lagi dengan adanya ajaran-ajaran tarekat yakni yang tumbuh subur di pesantren-pesantren sehingga lebih memperkuat emosi keagamaan dalam melawan kolonial. (Sartono Kartodirjo, 1966)
Ketika ide Nasionalisme mendapat wadah dalam organisasi pergerakan Nasional di awal abad ke-20, maka Islam Indonesia pun mendapat tempat dalam pengembangan Nasionalisme, seperti Nasionalisme ekonomi sebagai ide dalam pergerakan Nasional telah dikembangkan oleh SDI (Serikat Dagang Islam). Dalam perkembangan berikutnya ide ini mendapat kekuatan politik sejak berdirinya Sarekat Islam (SI) tahun 1912. Dengan demikian SI pada saat itu merupakan kekuatan sosial, politik, ekonomi dan agama bagi Islam. Perkembangan Sarekat Islam dalam sejarah pergerakan Nasional dapat dibagi dalam 4 tahap: pertama, dari tahun 1911 sampai 1916 yang memberi corak dan bentuk bagi partai tersebut: kedua, dari 1916 sampai 1921 yang dapat dikatakan merupakan periode puncak, di mana SI mempunyai jumlah anggota yang sangat besar dengan cabang-cabangnya di seluruh Indonesia terutama Jawa; ketiga, dari 1921 sampai 1927 adalah tahap konsolidasi di mana pada tahap ini SI harus bersaing keras dengan golongan komunis, di samping tekanan berat yang dilancarkan oleh pemerintah Belanda; keempat, dari 1927 sampai 1942 adalah tahap memperlihatkan usaha untuk tetap mempertahankan eksistensinya di forum politik Indonesia (Deliar Noer, 1982). Pada periode akhir dari SI ini peranan politik Indonesia dimunculkan pula oleh partai-partai Islam yang lain di antaranya adalah Persatuan Muslim Indonesia (PMI) yang kemudian bernama PERMI yang bergerak di bidang pendidikan, dan akhirnya beralih pula ke bidang politik; Partai Islam Indonesia (PII) yang mempunyai dasar Islam Nasionalisme dan swadaya. Dalam PII ini muncul beberapa tokoh dari organisasi Muhammadiyah yakni organisasi yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tahun 1912 di Yogyakarta, yang kemudian menguasai pimpinan pusat PII.
Gerakan Sarekat Islam, Muhammadiyah, PMI, dan PII adalah pergerakan rakyat yang berakar pada lapisan bawah hingga masa permulaan pendudukan Jepang di Indonesia. Seperti diketahui menjelang pendudukan Jepang, Muhammadiyah dan NU bersama-sama mendirikan suatu Federasi Islam pada tahun 1937 yang bernama “Majlis Islami A’la Indonesia (MIAI) atau Majlis Agung Islam Indonesia, Menurut Harry Benda, federasi baru ini tetap menampung perbedaan pendapat antara kaum ortodoks di satu sisi dengan kaum refrmis di sisi lain (Herry Benda, 1980)
Di masa pendudukan Jepang – ΜΙΑΙ oleh Jepang dimaksudkan agar para ulama khususnya dan umat Islam umumnya mendukung pemerintahan Jepang, mengapa? Karena pemerintahan Dai Nippon menyadari betapa bahayanya kekuatan politik Islam. MIAI yang diharapkan peranannya oleh umat akhirnya mengikuti jejak organisasi-organisasi politik sebelumnya, yakni dibubarkan oleh Jepang. Sebagai gantinya berdirilah MASYUMI (Majlis Syura Muslim Indonesia) pada tahun 1943, yang dalam perkembangannya ternyata cukup memberikan potensi politik bagi umat Islam di masa-masa setelah proklamasi kemerdekaan.
Islam yang semenjak berdirinya meliputi dua aspek yaitu agama dan masyarakat atau politik dan tidak memisahkan persoalan-persoalan rohani dengan persoalan-persoalan dunia, ternyata dalam perkembangannya di Indonesia yakni sebagai mana umumnya negara-negara berkembang, menghadapi hambatan dalam meletakkan kedudukan agama (baca Islam) di dalam