(lanjutan pembahasan topik Hadir, Berjuang dan Kecewa)

masyarakat (Deliar Noer, 1982), meskipun sebenarnya Islam mempunyai potensi politik yang cukup besar. Di waktu yang lalu berbagai jalan untuk mendudukan masalah ini telah dicoba, tetapi kalangan Islam sendiri merasakan hasil yang dicapai masih sangat terbatas dan perlu disempurnakan lagi.

Demikianlah, semenjak Indonesia merdeka, Islam memang terus berkembang dengan memperoleh pengikut yang banyak. Namun masalah kedudukan Islam di tengah masyarakat masih belum terselesaikan. Islam masih harus menentukan tempat serta peranannya yang nyata dalam perkembangan negeri ini. Bila dilihat dari sejarah, Indonesia telah lama pula memiliki tradisi di mana negara atau kerajaan-kerajaan memang mengakui agama dalam kehidupan masyarakat dan politik seperti negara-negara Islam. Tetapi dalam masyarakat Indonesia sekarang, agama tidak secara otomatis terjalin dalam kehidupan politik, sekurang-kurangnya ia masih tetap dipersoalkan. Sebagai bukti antara lain dalam perdebatan BPUPKI di tahun 1945; polemik-polemik dalam permulaan tahun 1950-an yang dilanjutkan dengan perdebatan yang lebih panas pada sidang konstituante ditahun 1955 sampai 1959. Kemudian penerimaan Pancasila sebagai dasar dari partai manapun juga, termasuk partai Islam sebagai salah satu syarat untuk memperoleh pengakuan pemerintah (Deliar Noer, 1982).

Dengan diakuinya Pancasila sebagai dasar negara Islam tidak bukan berarti umat menerimanya. Memang, entah dari mana usaha untuk datangnya masih ada mempertentangkan Islam dengan Pancasila. Walaupun sudah berkali-kali diingatkan akan bahaya yang dapat timbul akibat dipertentangkannya Pancasila dengan Islam, namun dengan terus masih saja ada pikiran-pikiran yang “cetek” untuk mempertentangkan dua hal yang sama sekali tidak bertentangan, kendatipun peringkatnya memang berbeda. Islam adalah agama wahyu, sementara Pancasila adalah ideologi buatan manusia. Dalam kaitan ini, perlu diingat bahwa umat Islam telah mengaktualisasikan Pancasila dalam kehidupan kesehariannya, kalau tak hendak dikatakan bahwa Pancasila itu sendiri adalah hadiah terbesar umat (Islam) bagi bangsa Indonesia (Amin Rais, 1986)

Memang, bila diperhatikan, sejak awal abad 20 hingga menjelang ORBA, sejarah mengecewakan umat Islam, setelah ia memberi janji dan harapan. Sarekat Islam yang bercorak sebagai gerakan Islam yang Integrasionis yakni karena SI menyatu dengan perjuangan bangsa, dan sistemik karena SI mendekati masalah kemasyarakatan secara menyeluruh sebagai sebuah sistem akhirnya runtuh dari dalam dan luar, kemudian menyusul MIAI, Setelah itu, Ironi sejarah kemudian disusun dengan kemalangan terutama setelah dibubarkannya Masyumi pada tahun 1959, yang akhirnya kehidupan politik bangsa, peranan partai-partai yang tidak dibubarkan seperti NU,PSII PERTI dalam kehidupan politik, hanyalah marginal sekalipun sangat penting artinya bagi kelanjutan gerakan bangsa (Kuntowijoyo, 1985).

Bagaimana kondisi umat Islam di masa ORBA ?

Meletusnya G 30 S/PKI pada mulanya memberikan secercah harapan bagi bangkitnya kembali partai Islam yang telah dilumpuhkan Soekarno, ini juga berkaitan dengan sumbang umat Islam dalam penumpasan PKI. Besarnya saham Islam ini dapat dilihat dalam memanfaatkan “Islam” sebagai alat pemersatu rakyat guna memperkokoh persatuan dan kesatuan dalam menghadapi bahaya komunis. Pada waktu itu umat Islam satu-satunya potensi terbesar yang harus dirangkul TNI AD (ABRI) untuk menghadapi aksi teror PKI. Suatu bukti yang tak dapat dibantah, dapat dilihat betapa gencarnya penggalakkan pelaksanaan ibadah umat Islam, sehingga terwujud suasana kohesif di kalangan umat Islam dan bahkan, jika diperlukan umat Islam pun siap direbilisasikan guna mewujudkan stabilitas nasional.

Kerjasama yang baik antara AB dan organisasi Islam ini menurut Allan A. Samson, lambat laun dirasakan bahwa kepemimpinan partai-partai Islam merupakan kekuatan sipil yang sangat menentukan dalam masyarakat. Orang mula-mula merasakan bahwa Indonesia setelah keluar dari kesulitan akan dapat menjadi sebuah negeri yang di dalamnya ajaran Islam akan direalisasikal dalam kehidupan (Rusli Karim, 1985). Tetapi apa yang terjadi kemudian? Ternyata jauh dari dugaan, pemerintah Orde Baru tak begitu ramah terhadap gerakan Islam, masalah kepartaian