(lanjutan halaman 14)

Masyumi yang tak bisa direhabilitasi, Undang-Undang perkawinan dan aliran kepercayaan, sempat memanaskan gerakan Islam. Lebih lagi setelah begitu banyak umat Islam berkorban untuk memenangkan Orde Baru, sehingga penyembelihan massa terhadap kaum komunispun ditumpahkan kepada pemuda-pemuda Islam. Gerakan Islam Terpojokkan kembali.

Apa yang tampak sesudah tahun 1965 ialah kegetiran gerakan Islam yang disengaja atau tidak disengaja oleh kekuatan luar, telah menyebabkan umat Islam memiliki Crisis Syndrome atau Warture Mentality seolah umat Islam selalu terancam krisis dan berjalan dari kekecewaan-kekecewaan. Tidak diragukan lagi, dalam sejarah semacam itu sebagian umat Islam, menurut Kuntowijoyo, mengalami Paranoia (penyakit gila karena ketakutan dan kekecewaan), dan melakukan perbuatan nekad yang berakibat semakin jauhnya gerakan Islam dari arus utama kehidupan bangsa.

Pengalaman sejarah yang demikian, ditambah dengan masih melekatnya warisan kolonial Belanda yang mengkonsentrasikan umat Islam dengan masalah ritualnya belaka, menjadikan umat Islam kurang begitu berperan pada problema-problema sosial-politik dan ekonomi. Hal ini terasa terutama di tahun 70-an dan 80-an, di mana umat Islam hanya sibuk dan terkonsentrasi pada masalah-masalah internalnya saja, seperti Khilafiah, Komando Jihad, Islam Jamaah, sehingga peranan yang lebih eksternal yakni untuk ikut menentukan arah dan jalannya pembangunan bangsa, menjadi kurang terperhatikan. (Kuntowijoyo, 1985)

Setelah beberapa kali sejarah mengecewakan umat Islam, akhir-akhir ini terutama menjelang berakhirnya tahun 80-an dan memasuki tahun 1990, ada suatu fenomena yang menarik dalam perkembangan Islam di negeri ini. Suatu fenomena yang menunjukkan adanya keinginan dari generasi muda Islam untuk melihat masa depan Islam sebagai kekuatan sosial, ekonomi, budaya dan kekuatan-kekuatan lainnya. lni mungkin disebabkan oleh adanya suatu semangat intelektual plus beberapa kebebasan akademis yang dimiliki mereka sehingga memungkinkan mereka untuk berfikir tentang persoalan-persoalan yang besar dan relevan dengan pembangunan Bangsa.

Fenomena-fenomena ini bisa dilihat di dunia kampus, yakni dengan munculnya kelompok-kelompok kajian keagamaan, kegiatan Ramadlan atau diskusi-diskusi ilmiah keagamaan, yang kesemua materi biasanya dipadu dengan metodologi ilmiah sebagaimana layaknya tradisi kampus. Kelompok-kelompok dan kegiatan-kegiatan semacam ini terus merebak di berbagai kampus dengan tidak semata-mata mengkaji tentang hukum Islam, tetapi materinya sudah lebih mengacu pada pencarian pemecahan masalah yang berkembang di masyarakat, di samping tentunya materi aqidah tauhid. Tampaknya mulai dicoba untuk menterjemahkan Islam dalam kontek yang aktual serta mencoba merumuskan norma-norma Islam dalam konsep-konsep baru yang meliputi berbagai aspek.

Contoh di atas hanya sebagian kecil dari fenomena yang menunjukkan meningkatnya kesadaran umat Islam di Indonesia (lihat: Ketika Kebanggaan itu Mulai Tumbuh). Yang masih kita nantikan adalah catatan sejarah setelah fenomena-fenomena itu muncul. Akankah kembali terukir warna emas dalam perkembangan Islam di Indonesia? Atau harus kembali menelan pil-pil pahit seperti tahun-tahun sebelumnya? Wallahu a’lam’bi shawab. (AR).