


Drs. Abdul Munir Mulkhan,
“…justru mungkin akan terjadi penyimpangan atas nama Islam.”
dapat dirasakan manfaatnya secara nyata. Oleh sebab itu sangat diperlukan sosialisasi ajaran-ajaran Islam, agar nilai-nilai kebenaran itu sedapat mungkin dirasakan membumi.
Maka, mumpung sistem sosial belum berubah menjadi lebih terbuka, semestinya identitas keislaman itu harus sudah dikembangkan menjadi simbol. Sebab dengan semakin terbukanya sistem sosial seperti di negara liberal, misalnya, orang semakin dihadapkan pada banyak pilihan. Media-media yang memungkinkan orang untuk berperan lebih menjadi beragam. Sehingga, identitas keislaman yang sebenarnya sudah mulai tumbuh bisa tenggelam kembali. Namun, “bila identitas itu telah dikembangkan menjadi simbol, akan dapat merubah pola tingkah laku. Dan dengan melekatnya identitas dalam tingkah laku, akan kecil kemungkinan lunturnya identitas itu,” ujar dosen UGM yang tengah menyelesaikan program S3-nya ini.
Barangkali, perlu juga ditelusuri latar belakang yang menjadi titik sentral dari munculnya keberanian untuk tampil dengan identitas keislaman ini. Sebab dari titik itulah nantinya bisa dicari pola pengembangan yang lebih tepat. Drs. Munir Mulkhan menunjuk aspek pendidikan sebagai faktor yang dominan dalam mempengaruhi fenomena-fenomena sosial ini. Hal ini lebih dikuatkan lagi oleh Drs. MA. Fatah Santoso, dosen Fakultas Ilmu-Ilmu Agama Islam UMS, yang mengatakan bahwa, “Implikasi kesadaran beragama adalah termasuk juga tanggung jawab negara, dan di Indonesia diwujudkan dengan memasukkan pendidikan agama dari sekolah dasar sampai di perguruan tinggi.” Dewasa ini dikotomi pendidikan sebagai warisan dari Belanda sudah tidak tegas lagi. Jadi, baik sekolah umum maupun sekolah agama sudah membaurkan materi pelajarannya. Mata pelajaran agama juga diajarkan di sekolah umum, dan materi umum juga diajarkan di sekolah agama. Meskipun pengelolaannya masih dikendalikan oleh dua departemen, yakni Departemen Pendidikan dan Kebudayaan serta Departemen Agama, namun tentu saja persentase materi pelajarannya belum berimbang karena masing-masing punya penekanan sendiri-sendiri.
Dengan minimnya pendidikan agama di sekolah-sekolah umum, memaksa para siswanya untuk memperdalam kajian agamanya secara mandiri. Dari situlah nilai-nilai ajaran agama banyak diserap, sehingga ketika harus lebih memperdalam pengetahuan umumnya, semangat keagamaannya tidak hilang. Demikian pula yang duduk sebagai siswa sekolah agama. Karena memperoleh pelajaran umum, maka ketika lebih memperdalam pengetahuan agamanya, mereka tidak terlalu buta dengan masalah-masalah yang sedang dihadapi dunia. Pada proses selanjutnya mereka mencoba merumuskan pemikirannya untuk memberikan sumbangan terhadap perkembangan agamanya maupun kemajuan bangsanya. Selanjutnya dikatakan pula bahwa, “Untuk mencapai titik kulminasi ini diperlukan ikhtiar pendidikan yang integratif sifatnya. Dari situlah saya melihat besarnya peran sektor pendidikan terhadap perkembangan Islam,” papar dosen yang tengah menyelesaikan program S3-nya di IAIN Kalijaga, Yogyakarta.
Lebih lanjut diingatkan, sebenarnya secara kualitas umat Islam di Indonesia ini masih rendah, meskipun kuantitasnya masih cukup besar. Dengan tidak berimbangnya antara kualitas dengan kuantitas inilah yang menyebabkan pada awalnya Islam di Indonesia dikaji sebagai alat pencapaian tujuan. Hal ini ditempuh sebagai satu upaya untuk memapankan Islamisasi secara kultural. Dari proses ini, lambat laun semakin menunjukkan hasilnya. Umat Islam semakin menyadari bahwa sudah saatnya Islam dijadikan way of life bagi dirinya. Dengan demikian kebanggaan berislam itu sendiri menjadi semakin mantap dan sekaligus secara implisit mengangkat kualitas keislamannya.
Tidak bisa dipungkiri lagi, gerakan Islam di Indonesia semakin berpengaruh dalam kekuatan peta politik maupun sosial. Terbukti dengan semakin munculnya kasus demi kasus yang mengatasnamakan Islam dalam sistem sosial di Indonesia. Kondisi ini dilatarbelakangi oleh semakin mengkristalnya nilai-nilai Islam dalam setiap jiwa pemeluknya. Pada mulanya secara individual, dan proses selanjutnya berubah menjadi kolegial.
Masyarakat awam tidak takut-takut lagi mengaku dirinya seorang muslim karena para pejabat pun sudah tidak malu-malu mengakuinya. Masih hangat dalam pembicaraan, kaum cendekiawan berikrar dan membentuk satu wadah yang menaunginya, yakni Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia. Masih segar pula dalam ingatan, Senayan dan Tambaksari diguncang oleh gelegar dan gemerlapnya ulah kaum seniman dalam pagelaran Kantata Takwa. Terlihat betapa tidak ragu-ragu lagi kaum seniman mengakui dirinya muslim dan mengekspresikan raka’at takwanya dalam paket musik yang penuh dengan kesakralan. Gemanya masih terasa dan pengaruhnya bukan lagi sekedar lokal, namun berskala nasional. Satu per satu dapat kita catat fenomena sejarah perkembangan Islam di persada kita tercinta. Masihkah fenomena ini kita anggap sebagai trend semata? (arvadela)
“Implikasi kesadaran beragama adalah termasuk juga tanggung jawab negara, dan di Indonesia diwujudkan dengan memasukkan pendidikan agama dari sekolah dasar sampai di perguruan tinggi.” – Drs. MA. Fatah Santoso

