LAPORAN UTAMA

Gadis manis berambut sebahu itu melesat dengan motornya dan melewati kerumunan mahasiswa-mahasiswi yang sedang asyik berdiskusi di taman sebuah kampus. Gayanya berkesan ‘cuek’ sekali dan penampilannya khas ala remaja ibukota. Dari motornya, sepintas yang berkesan menonjol adalah tulisan stikernya. Jelas terpampang dengan warna dasar biru dan tulisan ISLAM WILL NEVER DIE dengan warna putih metalik. Kontras sekali antara penampilan sesuai jiwa remajanya dengan makna stiker yang dipampang di motornya. ‘Saya ingin menunjukkan pada orang-orang bahwa saya adalah seorang muslim, makanya dengan bangga saya pasang stiker ini,’ begitu jawabnya ketika ditanya motivasi pemasangan stiker itu. Bukan main, sebuah jawaban dengan dialek Betawinya yang kental meluncur secara spontan. Selanjutnya gadis dengan nama lengkap Herawati ini menambahkan agar orang-orang di luar Islam tahu bahwa pemeluk agama Islam begitu taat dan bangga dengan agamanya. Satu niat yang tulus dan mulia dari gadis yang tercatat sebagai mahasiswi Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta ini.

Barangkali potret remaja Islami modern di kota-kota besar tidak terlalu jauh berbeda dari sosok si Boy di layar perak. Figur seorang remaja gagah, berpendidikan, kaya, hidup di lingkungan modern, akan tetapi taat menjalankan ibadah. Terlepas dari sikap suka atau tidak suka terhadap film tersebut, sosok Boy itulah yang dijadikan idola oleh remaja kota yang masih mendapat sentuhan nilai-nilai Islami. Seperti pendapat mahasiswi Fakultas Ilmu Komunikasi ini yang melihat figur Boy sebagai cermin nyata dari remaja Islam masa kini. Dia melihat dari Boy-lah remaja Islam jadi berani tampil dengan identitas keislamannya. Artinya, film Catatan Si Boy ini berhasil menyulut semangat remaja Islam untuk ditirunya dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam mobilnya tergantung tasbih dan dalam dasbornya tersimpan sajadah. Berbeda dengan figur yang mencuat di dekade ’70-an yang mengenal sosok Ali Topan sebagai remaja urakan dengan latar belakang pendidikan yang serabutan. Gambaran inilah yang dijadikan alasan oleh mahasiswi jurusan Humas ini menganggap remaja Islam seperti figur Boy lebih berkesan maju. Kebanggaan tampil dengan atribut keislaman ini jadi kian tumbuh dan tertanam dalam diri remaja-remaja kota, karena mereka ingin seperti idolanya.

LALU APA KATA MEREKA….

Bangsa Arab yang terkenal gemar bersyair pernah menuangkan sebuah syairnya undzur ma qola wa la tandzur man qola. Lalu diterjemahkan secara bebas oleh Ebled G. Ade dalam sebaris pesan yang dikemas dalam sebuah lagu. Katanya “Jangan lihat siapa bicara tapi dengar apa katanya!” Itulah yang membuat A. Rusydi dari PABELAN berkelana mendengar apa-apa kata mereka dengan tidak melihat siapa sebenarnya mereka. Dan kata-kata mereka yang didengar adalah kata-kata mereka yang concern dengan perkembangan agamanya. Inilah catatan yang dirangkai kembali oleh Arif R. Hakim.

Ternyata apa yang terjadi di Jakarta terjadi pula di Surakarta.

Muhammad Dahlan, mahasiswa FKIP UNS, ini memasang stiker besar dengan tulisan: BE A GOOD MOSLEM OR DIE AS SYUHADA pada tasnya. Patriotis sekali maknanya. Mengisyaratkan sikap tegas yang tak bisa ditawar lagi. Dan lebih berbicara nyata lagi ketika diungkapkan alasan pemasangannya. Karena stiker itu bisa dijadikan kontrol bagi dirinya. ‘Bila saya berbuat jelek, saya akan malu dengan stiker itu’ begitu katanya. Disamping itu sekaligus menjadi dorongan moral untuk tetap teguh menapaki jalan yang telah digariskan oleh Al-Islam. “Bila saya sedikit lemah kemudian saya ingat makna stiker itu, maka harapan saya dapat semangat kembali,” paparnya.

Memang diakuinya bahwa masih ada umat Islam yang menganggap agama Islam ini sebagai “barang antik”, setiap saat dicuci dan digosok agar mengkilap. Tampaknya sayang sekali pada agamanya, sehingga ketika ada orang menusukkan jarum ke badannya, mereka ramai-ramai mengangkat celurit. Padahal dalam kehidupan sehari-harinya mereka tidak melaksanakan ajarannya. Demikian papar mahasiswa semester VI ini dengan meminjam pendapat Emha Ainun Najib, ketika mengomentari… – halaman 20

Bangsa Arab yang terkenal gemar bersyair pernah menuangkan sebuah syairnya undzur ma qola wa la tandzur man qola. Lalu diterjemahkan secara bebas oleh Ebled G. Ade dalam sebaris pesan yang dikemas dalam sebuah lagu. Katanya “Jangan lihat siapa bicara tapi dengar apa katanya!”

… kasus monitor. Harapannya, dengan mewabahnya stiker-stiker Islami itu dapat mengingatkan kembali akan keagungan nilai-nilai dienul Islam.

Menurut mahasiswa berpenampilan rapi ini, banyaknya stiker-stiker berbahasa Inggris itu mengisyaratkan ide dasarnya adalah dari kaum terpelajar. Mengingat kenyataan bahwa bahasa Inggris belum banyak dikuasai oleh masyarakat awam. Jadi, terlepas apakah hal ini muncul karena mereka melihat peluang bisnis dari usaha stiker yang menjanjikan keuntungan, yang jelas mereka telah mensosialisasikan syiar Islam secara luas.

Di samping itu, mewabahnya stiker Islami berbahasa Inggris membuat kaum muda Islam merasa lebih “sreg” dalam memasangnya. Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional telah banyak disadari sebagai media utama untuk berkomunikasi dengan dunia. Dunia sains dan teknologi, budaya, agama, dan sosial kemasyarakatan tentu lebih mungkin untuk dikaji bila kita menguasai bahasa tersebut. Oleh karena itulah bahasa Inggris mulai digandrungi oleh masyarakat. Bahkan ada kesan, terasa belum modern bila kita tidak tahu sama sekali bahasa yang banyak digunakan oleh negara-negara modern di dunia itu. Asumsi ini mengisyaratkan bahwa memakai stiker Islami memberi kesan modern terhadap Islam itu sendiri maupun pada pemakainya. Dan sekaligus, dengan merebaknya stiker-stiker itu, menghapuskan anggapan bahwa Islam identik dengan dunia Arab, memunculkan anggapan bahwa Islam telah mendunia. 

Seiring dengan munculnya gejala “stikerisasi” ini, berkembang pula gejala “jilbabisasi”. Dapat kita saksikan jumlah remaja putri Islam yang berjilbab semakin lama menunjukkan persentase yang semakin tinggi. Tentu saja banyak sebab yang mendorong tumbuhnya kesadaran remaja putri Islam ini untuk berbusana yang Islami. Al-Qur’an sendiri telah menggariskan dengan tegas akan hukum berbusana muslimah bagi pemeluknya. Tegasnya, hukum inilah yang menjadi motivasi bagi Mu’amaroh, mahasiswi asal Rembang, untuk mulai mengenakan jilbab sejak tujuh tahun yang lalu. Alasannya, ‘untuk melaksanakan perintah Ilahi sekalian itung-itung sambil berdakwah,’ kata mahasiswi yang akrab dipanggil Aan ini. Dia sadar sepenuhnya bahwa tata cara berbusana yang menutup seluruh anggota tubuhnya (aurat) bagi kaum muslimin hukumnya fardhu ‘ain. Oleh sebab itulah dia tetap tegar dalam menghadapi ungkapan sinis yang sering ditujukan kepadanya.

Menurutnya, untuk memulai berjilbab ini sangat dibutuhkan kesiapan mental yang matang. Kesiapan awal ini mutlak perlu karena akan memulai hijrah ke dalam lingkungan yang sering masih dianggap berbeda dari lingkungan sebelumnya. Bagaimana tidak, masyarakat kita belum sepenuhnya dapat menerima kehadiran tata berbusana yang tergolong baru ini. Seolah-olah menghadirkan budaya baru dan ngowah-owahi adat yang selama ini telah berlaku dan mapan. Selama ini kita hanya mengenal tata berbusana sesuai adat yang berlaku di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Meskipun busana (pakaian) adat ini hampir semuanya sesuai dengan budaya ketimuran yang menutup hampir seluruh tubuh, namun belum sepenuhnya diterima tata cara berpakaian yang hanya memperlihatkan raut muka dan telapak tangan saja. Kesan yang muncul dari busana yang berlandaskan nilai-nilai agama ini adalah mengimpor budaya dari bangsa Arab, karena memang di sanalah busana ini dikenakan sehari-hari. Lalu muncul anggapan bahwa mereka telah meninggalkan budaya sendiri.

Kesan lain dari para pemakai jilbab adalah mengisolasi diri. Seolah mereka tidak menyatu dengan masyarakat umum, akan tetapi hanya berkutat dengan sesamanya dan membentuk komunikasi tersendiri. Kondisi seperti ini disadari oleh mahasiswi program Bahasa dan Sastra Inggris UMS ini. ‘Makanya saya berniat untuk meluruskan anggapan yang salah ini. Buktinya banyak yang terlibat aktif di organisasi kemasyarakatan dan menyatu dengan masyarakat.’ Niat baiknya ini diwujudkan dengan mengikuti kegiatan seperti simulasi P4, kegiatan PKK, dan juga pengajian yang diadakan oleh masyarakat di daerah asalnya. Hasilnya, ‘Alhamdulillah, masyarakat di daerah saya tidak mempersoalkan. Bahkan lambat laun banyak yang turut berbusana muslimah,’ ucap syukurnya sambil merapikan kerudung hitamnya. Padahal, pada mulanya jilbab di daerah asalnya hanya dikenakan oleh mahasiswi yang mahir berbahasa Arab dan Inggris ini bersama adiknya saja.

‘Saya juga berniat merubah anggapan bahwa wanita berjilbab hanya mau mendalami ilmu-ilmu agama semata dan menjauhi ilmu-ilmu umum lainnya,’ komentarnya ketika ditanya mengapa memilih program bahasa sebagai disiplin ilmunya. Anggapan sementara orang bahwa wanita berjilbab hanya mengkaji ilmu syariah, fiqih, nahwu serta ilmu-ilmu agama lainnya, sehingga kesannya mereka sangat religius. Kesan semacam inilah yang membuat mereka seperti dibatasi geraknya. Mereka dianggap sebagai orang suci yang hidupnya hanya memikirkan akhirat dan melupakan urusan dunia. Menurutnya, anggapan ini tidak sepenuhnya merupakan kesalahan masyarakat umum bahkan wajar saja. Wanita berjilbab tentu lebih afdhal bila banyak menguasai ilmu agama disamping disiplin ilmu umum lainnya. Sebab, naif sekali kalau penampilan fisiknya menunjukkan punya kesadaran agama yang tinggi, namun pendalaman agama dari segi ilmunya rendah. Masyarakat memang sering menuntut banyak dari wanita-wanita berjilbab ini. Bahkan sering kali menuntut mereka sempurna dalam akidah, akhlak, maupun muamalah dunianya. Namun, apa pun tantangannya, Muamaroh bertekad untuk tidak melepas jilbabnya, karena diyakini itulah yang benar dan dia bangga melakukannya.

Akhirnya, memang harus disepakati bahwa mereka merasa bangga dengan agamanya. Terlepas apakah ini hanya sekadar tren yang pada saatnya akan digantikan oleh tren lain yang lebih baru, tapi gejalanya telah menunjukkan bahwa kesadaran dan kebanggaan berislam telah tertanam di dada mereka. Akankah berlanjut menjadi satu kebangkitan? Semoga. (AR Arvadela). – halaman 21