

Liputan dan Komentar
RENUNGAN AKHIR TAHUN ALA USF
Kerja bareng Senat Mahasiswa UMS dengan Unit Seni dan Film dalam acara renungan akhir tahun dengan acara ceramah kemahasiswaan oleh Pembantu Rektor III Drs. Marpuji Ali dan apresiasi sastra. Sementara dalam acara apresiasi puisi hadir Budi Bayek Prasetyo, Gempur Irianto, Ali Imron dan Yasid untuk kalangan mahasiswa UMS sudah tak asing lagi, hadir pula pencinta seni dan para mahasiswa aktivis.
Drs. Marpuji Ali dalam ceramahnya, menekankan pentingnya penekanan pengembangan akademik, bukan hanya sekedar semboyan, tetapi perlu didukung oleh semua sivitas akademika. Ceramah dilanjutkan dialog. Nampak menarik ketika salah seorang mahasiswa mempersoalkan kehadiran SMPT, dan sepinya kegiatan setelah SMPT terbentuk.
Menurut Marpuji Ali, disebabkan oleh semua masih baru. Adalah wajar, sebab orang belum terbiasa dengan hal-hal yang baru. NAMUN BENARKAH AKTIVITAS mengalami kevakuman? Nampaknya indikasi ke arah sana tidak diraskan oleh pimpinan sebab toh dana kemahasiswaan yang berupa subsidi pertriwulan juga habis. “Lha, kemana uangnya kalau memang aktivitas terjadi kevakuman,” begitu tandasnya.
Yang lebih menarik lagi bahwa, UMS kini telah mempunyai semuanya, kecuali perpustakaan yang memadai. Tetapi biaya untuk anggaran pembangunan itu sudah ada rencananya. Termasuk hadirnya perpustakaan yang memadai. Hal ini telah dirintis, namun karena adanya acara mendadak, job biaya yang semestinya untuk acara pembangunan ditangguhkan, tandas Marpuji Ali dengan menutup dialognya dengan membaca puisi karya Sapardi Djoko Damono dalam kumpulannya. Mata Pisau yang Memukau.
Untuk mengakhiri akhir tahun 1990, dimeriahkan dengan pembacaan puisi dan apresiasi. Nampaknya malam itu menjadi kesepakatan, hal itu nampak ketika para sastrawan (tiga diantaranya yang tersebut di atas) masing-masing membacakan puisi yang panjangnya lebih dari lima halaman.
Tampil pertama Gempur Irianto yang membacakan 4 judul puisinya baik karya sendiri maupun karya orang lain. “Saya mencoba membaca puisi saya yang tidak terkenal, dengan demikian saya memperkenalkan” Ungkap Gempur mengawali pembacaan puisinya, satu diantaranya berjudul Dasi di Taman Monas. Yasid tampil dengan mengambil tokoh Hazel dari Israel dengan semangat juang.
Pembacaannya penuh ekspresi dengan tatapan mata pilu badan bergetar mengikuti selera isi puisi, membawa penonton yang tidak begitu banyak diam merenung, syahdu dan ada rasa pilu, tidak terkecuali Pak Marpuji Ali masih setia mengikuti acara kawula muda sampai detik terakhir 1990. Tak ketinggalan Ali Imron mantan sekretaris BKK dan sekarang ketua Forum Akademik UMS turut berkiprah membaca puisi, mengawali acara apresiasi puisi dengan harapan semakin tumbuhnya kelompok peminat sastra di UMS.
Budi Prasetyo tampil dengan Ken Arok nya sepuluh halaman, dengan vokal yang mantap, mencoba menghidupkan kembali tokoh Ken Arok yang melanglang buana, memberikan pelajaran dan petuah tentang hidup dan kehidupan. Di sinilah Ken Arok berpetuah dari negeri ke negeri lain, termasuk negerinya sendiri Indonesia. Nampaknya, dengan posisi bayek mengantarkan awal tahun 1991, namun tak seorangpun yang beranjak untuk meninggalkan tempat sarasehan di Griya Mahasiswa, beginilah gaya renungan akhir tahun ala USF. Apa sebenarnya yang dicari? (KAMTO)
PENGADILAN VERSI TEATER KIDUNG
Sejak hadirnya Teater Keliling Jakarta pimpinan Dery Syrna 18 Nopember 1990 di UMS, nampaknya memberikan angin segar bagi perjalanan teater kidung UMS yang saat ini kembang kempis. Terbukti akhir Nopember lalu, teater kidung mampu mementaskan TV Ajaib dalam rangka pentas bulanan Unit Seni dan Film.
Selanjutnya, tampil lagi dalam rangka Hari Hak Asasi Manusia seDunia dengan thema Seni dan Kebebasan Berekspresi Negeri Demokrasi tampil 19 Desember lalu.
Lakon yang menggambarkan keadilan di alam lain, Tuan Berjilbab putih menghakimi penguasa dan seniman. Penguasa untuk mempertanggung jawabkan kekuasaannya di dunia, termasuk dalamnya adalah kelangsungan hidup seniman dan seninya. Walaupun di alam lain ternyata penguasa masih melecehkan seniman. Hal ini dapat dilihat lewat dialog antara seniman dan penguasa. Penguasa dengan kedua isterinya berusaha merayu hakim untuk dapat meringankan hukumannya, sebab di dunia ini hakimlah yang mengatur keadilan lewat kacamatanya sendiri. Seniman dengan polah tingkahnya, mampu mengundang gelak tawa penonton dengan berbaju surjan khas Yogyakarta sebagai atribut seorang seniman, Lakon diawali kebangkitan dari alam kubur dengan pakaian serba putih ketika terompet dibunyikan. Ditutup dengan pengakuan penguasa bahwa dibalik semua keputusan, larangan itu sebenarnya dikendalikan dalang di balik wayang yaitu sebuah kekawatiran.
Walaupun hari diguyur hujan, namun tidak mengurangi kesetiaan penonton menikmati pementasan teater dan berdialog. Yang perlu dipikirkan, perlunya tempat khusus untuk mempertunjukan semacam ini. Griya Mahasiswa belumlah memadai untuk pertunjukan kita, sehingga komunikasi antar penonton dan pemain tidak terganggu. Semoga hal ini menjadi agenda perencanaan kampus. (Kam/JW)