

KEMBALINYA SANG HARGA DIRI
Sejak masa penjajahan gerakan modern islam Indonesia memiliki pengalaman-pengalaman; perdebatan yang tiada henti tentang soal khilafiyah, hadirnya partai-partai dalam jumlah besar yang melambangkan tidak adanya persatuan umat, dan hubungan yang disharmonis dengan penguasa. (Deliar Noer, 1988: xiii-xvi).
Betapa pun barangkali dewasa ini tidak relevan lagi menggunakan terminologi disharmonis dan partai politik islam karena perubahan-perubahan yang terjadi di dalam hubungan antara umat islam dengan pemerintah dan perubahan dalam partai-partai politik “islam” itu sendiri, pengalaman-pengalaman di atas setidaknya menunjukkan betapa banyaknya problem intern dan ekstern yang dihadapi umat islam di negeri tercinta ini.
Problem itu pula yang nampaknya telah meninmbulkan polarisasi berkepanjangan dalam, tubuh umat baik dalam aspek sosial kemasyarakatan maupun politik yang selanjutnya membentuk peta situasi umat menjadi kabur. Kita menjadi sulit menjawab pertanyaan dalam bidang politik, misalnya, bisakan dikatakan bahwa MDI Golkar tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan aspirasi politik umat islam atau apakah PPP berhak mengklaim sebagai satu-satunya partai politik umat islam Indonesia?. Atau dalam bidang ekonomi, apakah seorang konglomerat muslim yang taat bukan merupakan potensi ekonomi islam sementara sebuah lembaga ekonomi yang memakai nama islam tetapi dikelola secara tidak profesional sehingga rugi terus bisa disebut sebagai potensi ekonomi islam ?. Barangkali dengan perspektif seperti itu menarik untuk menyimak Jalaluddin Rakhmat yang mencoba mempersoalkan di sekitar definisi umat islam Indonesia.
Menurutnya, umat islam di Indonesia mayoritas atau minoritas bergantung dari definisi yang digunakan. Kalau didefinisikan secara social-ritual (meminjam istilah Donald K. Emerson) dalam arti himpunan orang yang menyatakan dirinya sebagai pemeluk agama islam maka muslim di Indoensia adalah mayoritas penduduk yang heterogen. Tetapi kalau secara ideoligical bahwa umat islam di Indonesia dimaksud kan dengan himpunan orang-orang yang terlibat secara ideologis dengan ajaran islam, yang memandang islam sebagai dasar dalam menghadapi masalah-masalah keduniaan, maka umat islam Indonesia adalah minoritas kecil. (Jalaluddin Rakhmat, 1986: 42-44).
Di sisi lain, salah satu kelemahan besar umat islam adalah tidak adanya pemimpin yang bisa diterima oleh semua pihak dalam umat islam. Seorang anggota NU, misalnya, tidak merasa Ahmad Azhar Basyir, MA. (Ketua Umum PP Muhammadiyah) sebagai pemimpin mereka sebagaimana umumnya anggota Muhammadiyah tidak merasa wajib mematuhi keputusan-keputusan Abdurrahman Wahid dalam kapasitasnya sebagai ketua PB NU. Bahkan polarisasi pemikiran yang tidak terjembatani sesungguhnya merupakan kenyataan yang bisa dilihat saat ini. Kasus halal-haramnya bunga bank dan pembagian waris antara pria dan wanita yang melatarbelakangi ide reaktualisasi ajaran islamnya Munawir Syadzali, misalnya, jelas menunjukkan pemikiran umat yang masih terkotak-kotak dan tidak memiliki forum dimana semua masalah bisa terbuka dan ilmiah didiskusikan.
Problem intern dan ekstern berkepanjangan, kekaburan peta kekuatan, ketidakjelasan definisi umat dan ketiadaan pemimpin yang bisa diterima semua pihak baik dalam oragnisasi massa maupun dalam pemikiran, mungkin sedikit banyaknya menyebabkan sebagian umat merasa tidak memiliki kebanggaan apa-apa kalau menampilkan islam sebagai identitas diri dalam pergulatan kehidupan keseharian.
Dalam konteks seperti itu bisa dipahami pengalaman Prof. Daud Ali, SH yang dituturkannya kepada PABELAN, bahwa pada tahun enam puluhan mahasiswa yang rajin shalat berjamaah di dalam kampus UI Jakarta hanya berjumlah sekitar 40-an dan dicap kampungan oleh mahasiswa lainnya.
Dewasa ini, setelah tiga dasawarsa berlalu barangkali keadaannya memang sudah berubah. Peta situasi umat semakin menjadi jelas Kasus MONITOR yang tanpa diduga membuka suara umat secara merata dari segenap penjuru mungkin bisa dijadikan indikator. Atau seperti dijelaskan Daud Alli lebih lanjut bahwa sekarang di dalam kampus Ul ada 3 masjid, At Taqwa, Ariel Rahman Hakim dan Ukhuwah Islamiyah yang dikelola secara modern dan membanggakan sehingga bila ada mahasiswa muslim tetapi tidak pernah ke mesjid maka justru dikatakan kuno bagi Daud Ali, kondisinya memang sudah berbalik. Gejala seperti itu juga dialami Drs Lukman Harun, salah seorang tokoh muslim yang sering keliling dunia. Dalam percakapan dengan PABELAN dia bercerita bahwa beberapa waktu yang lalu dia sedikit haru dan bangga melihat banyak mobil-mobil di Washington DC bertempelkan sticker WE ARE MOSLEM yang tidak ditemuinya
Sesungguhnya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) juga menjadi bentuk lain dari kebanggaan itu. Dalam wadah baru ini duduk dengan penuh rasa ukhuwah dalam satu forum ratusan bahkan mungkin nantinya ribuan muslim yang telah profesional dan menjadi tokoh dalam bidangnya masing-masing, dari KH Ali Yafie dan Ahmad Azhar Basyir sampai Prof. Dr. Emil salim dan Prof. Dr. Eng. BJ Habibie, dan Emha Ainun Najib (yang walaupun sempat menyatakan mengundurkan diri karena beberapa misinformasi) sampai IR. Aburizal Bakrie. Di sini lain, dengan kehadirannya, ICMI setidaknya bisa dijadikan forum dimana pemikiran umat yang selama ini terkotak-kotak tersebut terjembatani.
Bagi KH Ali Yafie fakta-fakta di atas bahkan dilihat sebagai bangkitnya harga diri umat yang selama ini seolah tenggelam. bahwa sebagai manusia umat islam memang pernah mengukir tinta emas dalam sejarah. Imperium ferbesar yang pernah dikenal manusia dalam sejarahnya adalah imperium yang dibentuk oleh penakluk-penakluk muslim lewat secuil abad penaklukan, terbentang dari perbatasan India hingga pasir putih tepi samudra Atlantik. Dan indahnya, dalam setiap penaklukan yang dilakukan selalu diiringi dengan berbondong-bondongnya penduduk setempat masuk islam, agama sang penakluk. (Hart, 1988: 29)
Di masa jaya, kebudayaan islam tersebut menjadi pusat peradaban dunia. Banyak monumen-monumen besar dibangun dan di antaranya adalah kitab kuning, hasil penulis-penulis produktif yang sulit dicari tandingannya. Ibnu Sina menulis 246 judul buku Al Sila, salah satu karyanya yang sampai saat ini masih diakui dunia sebagai literatur pokok ilmu kedokteran, terdiri dari 20 jilid Arrazi menulis 200 buku, Jabir Ibn Hayyan menulis 500 buah risalah, Nasruddin Tusi menulis 150 buku dan jalaluddin Dawwani menulis sekitar 70 buah buku. (Qaider, 1989: 111-150).
Akankah umat ini mengukir dengan tinta emas dalam buku sejarah untuk kedua kalinya? Entahlah.
Setidaknya kebanggaan atau barangkali harga diri itu telah kembali.
Mahli Zainuddin Tago
Setidaknya kebanggaan atau barangkali harga diri itu telah kembali.
Mahli Zainuddin Tago